, BE (Lampung), BG (Palembang), BH (Jambi), D (Bandung), F (Bogor) BA (sumbar) , dan lainnya. Mereka beroperasi bebas tanpa kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan justru memperparah kerusakan infrastruktur serta lingkungan pesisir.
Dumptruck-dumptruck dan alat berat ini mengangkut tanah urug dan material lainnya dari area cut and fill di wilayah hinterland menuju kawasan pesisir seperti Tanjung Pinggir, Tanjung Riau, Batu Besar, Nongsa, Teluk Mata Ikan, hingga Tiban dan Dapur 12—sebagian besar berada di zona sempadan pantai dan kawasan lindung mangrove.
Tanpa Amdal, Tanpa Izin, Tapi Tetap Jalan
Informasi dari internal Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Batam menyebutkan, banyak proyek reklamasi di Batam saat ini tidak memiliki dokumen Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) maupun izin resmi. Meski demikian, aktivitas tetap berjalan, bahkan seolah mendapat "perlindungan diam-diam".
"Bayangkan, kendaraan dari luar daerah merusak jalan kita, mencemari lingkungan, dan membantu proyek ilegal, tapi tak menyumbang sepeser pun untuk daerah. Ini jelas pelanggaran, tapi mengapa seperti dibiarkan?" tegas Dado Herdiansyah, Sekretaris DPD Projo Kepulauan Riau.
Lebih ironis lagi, sebagian besar dumptruck yang beroperasi tidak menggunakan penutup muatan, memicu tumpahan tanah di jalan, debu beterbangan, serta membahayakan pengendara lain. Warga di sejumlah titik padat lalu lintas alat berat juga mengeluhkan kebisingan ekstrem, polusi debu, dan retakan jalan di kawasan permukiman.
Siapa di Balik Armada Non-BP Ini?
Hingga kini belum ada penjelasan resmi dari Dinas Perhubungan, BP Batam, atau Bapenda Kepri terkait legalitas kendaraan berat luar daerah yang aktif di Batam. Tak ada data transparan mengenai siapa pemilik armada, siapa kontraktornya, dan proyek mana saja yang mereka layani. Namun kuat dugaan, jaringan kontraktor besar yang selama ini bermain dalam proyek reklamasi dan cut and fill menjadi dalangnya.
Seruan untuk Bertindak
Masyarakat, aktivis lingkungan, hingga tokoh pemuda menuntut penertiban segera. Pemkot Batam, BP Batam, Ditlantas Polda Kepri, dan Bapenda Kepri diminta tidak lagi menutup mata. Penindakan harus dimulai dari pendataan kendaraan non-BP, pemeriksaan izin angkutan, hingga audit proyek reklamasi dan cut and fill yang tengah berlangsung.
“Jika dibiarkan, Batam bukan hanya kehilangan PAD dan infrastruktur—tapi juga kehilangan identitasnya sebagai kawasan berwawasan lingkungan. Ini darurat ekologis, bukan sekadar pelanggaran administratif,” tegas Dado.
Catatan Redaksi: Tim kami masih mengupayakan konfirmasi dari Dinas Perhubungan Batam, BP Batam, serta Bapenda Kepri terkait keberadaan kendaraan berat non-BP di Batam dan status legal proyek-proyek yang diduga melanggar