Sidang lanjutan perkara dugaan tindak pidana korupsi pembangunan Rumah Sakit Kecamatan Sandai, Kabupaten Ketapang, kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Pontianak, Kamis, 31 Juli 2025. Perkara yang teregister dengan nomor 22/Pid.Sus-TPK/2025/PN Ptk ini menjerat EM, Direktur CV Prima, sebagai konsultan pengawas proyek.
EM didakwa menyebabkan kerugian negara senilai Rp169 juta dari proyek rumah sakit senilai miliaran rupiah yang bersumber dari APBD Kabupaten Ketapang tahun anggaran 2021. Namun dalam persidangan, perhatian justru tertuju pada kondisi kejiwaan terdakwa yang memprihatinkan.
Persidangan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Wahyu Kusumaningrum, S.H., M.Hum., dengan anggota Dr. Ukar Priyambodo dan Dr. Aries Saputro itu diwarnai situasi tak biasa. Terdakwa EM terlihat tertidur bahkan berbaring di kursi terdakwa sepanjang jalannya sidang. Kuasa hukum menyampaikan bahwa EM telah didiagnosis mengalami gangguan kejiwaan oleh Rumah Sakit Jiwa Kalimantan Barat.
“Klien kami dalam kondisi tidak stabil secara mental. Fakta bahwa ia tertidur dan tidak dapat berkomunikasi selama sidang adalah bukti ketidakmampuannya mengikuti proses hukum secara sadar,” kata kuasa hukum EM, Dr. Herman Hofi Munawar.
Dalam sidang yang juga menghadirkan lima saksi dari Dinas Kesehatan, BPKAD Ketapang, serta tim CV Prima, Dr. Herman menegaskan kliennya tidak terlibat dalam penyimpangan anggaran. Ia menyatakan peran EM sebatas menjalankan pengawasan teknis sesuai kontrak dengan masa kerja 177 hari kalender, yang berakhir pada Desember 2021.
“Semua laporan dibuat berdasarkan kondisi nyata di lapangan. Hingga kontrak berakhir, progres pembangunan fisik mencapai 78 persen. Tidak ada laporan fiktif yang dibuat oleh klien kami,” ujar Herman.
Ia menyebut bahwa laporan progres 90 persen yang digunakan untuk pencairan anggaran dibuat sepihak oleh pelaksana proyek, bahkan dengan memalsukan tanda tangan tim pengawas.
Saksi Taufik Hamzah, yang merupakan team leader dari CV Prima, turut memperkuat klaim tersebut. Ia mengaku tanda tangannya dicatut dalam laporan progres pekerjaan yang tidak pernah ia sahkan.
"Laporan itu tidak saya buat, dan saya tidak pernah menandatangani dokumen tersebut," tegas Taufik di hadapan majelis hakim.
Tim kuasa hukum lainnya, Andi Hariadi, memaparkan bahwa pihaknya telah melayangkan tiga surat teguran kepada pelaksana proyek pada 14 September, 1 Oktober, dan 9 November 2021. Teguran tersebut menyangkut keterlambatan pekerjaan, kekurangan tenaga kerja, serta ketidaksesuaian progres dengan perencanaan.
Sementara itu, saksi dari Dinas Kesehatan Ketapang, Arif, mengakui adanya kelemahan dalam proses verifikasi administrasi, yang membuka celah terjadinya manipulasi laporan pekerjaan sebelum proses pencairan anggaran.
Melihat kondisi terdakwa yang dinilai tidak cakap hukum, kuasa hukum EM mendesak agar persidangan dihentikan sementara. Mereka merujuk pada Pasal 203 KUHAP yang mengatur penundaan sidang jika terdakwa tidak mampu hadir karena alasan kesehatan, termasuk gangguan mental. Selain itu, Pasal 44 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa orang dengan gangguan jiwa tidak dapat dipidana jika tidak mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya.
“Melanjutkan sidang terhadap orang yang tidak cakap hukum bukan hanya melanggar asas keadilan, tetapi juga berpotensi membuat putusan batal demi hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung No. 139 K/Pid/1987,” ujar Herman.
Majelis hakim menyatakan sidang akan dilanjutkan pada pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi tambahan. Namun kuasa hukum berharap majelis dapat mempertimbangkan untuk menghentikan proses hukum terhadap EM dan mengalihkan fokus penyidikan kepada pihak-pihak lain yang lebih bertanggung jawab.
“Jangan sampai konsultan pengawas dijadikan kambing hitam dalam kasus ini, apalagi ketika klien kami dalam kondisi seperti sekarang,” tutup Herman.
(Red/D.Arifin)
Sumber: Ungkapfakta