Batam, fakta62.info-
Aktivitas dredging (pendalaman alur laut) dan dumping (pembuangan lumpur hasil pengerukan) di perairan Pulau Cicir, Tanjung Uncang, Kota Batam, menuai sorotan tajam. Praktik ini diduga menimbulkan kerusakan serius pada ekosistem laut dan menghilangkan ruang hidup nelayan pesisir.
Kegiatan berlangsung tepat di depan kawasan PT Wasco Engineering Indonesia, dengan sedimen hasil pengerukan dibuang ke pesisir Pulau Cicir. Dampaknya, air laut menjadi keruh, terumbu karang tertimbun lumpur, dan biota laut terganggu. Kondisi ini membuat hasil tangkapan nelayan menurun drastis.
“Terumbu karang di sekitar Pulau Cicir sekarang rusak karena tertutup lumpur. Laut yang dulu jernih berubah coklat, dan ikan-ikan menghilang. Ini jelas merampas hak hidup nelayan,” tegas Vinto, aktivis lingkungan Kota Batam, dalam keterangannya.
Vinto menambahkan, kerusakan yang terjadi bukanlah persoalan sepele karena ekosistem laut tidak bisa pulih dalam waktu singkat. “Jika dibiarkan, kerugian ekologis dan ekonomi masyarakat pesisir akan sangat besar. Pemerintah harus segera bertindak,” ujarnya.
Diduga Langgar Aturan Lingkungan
Sejumlah pihak menduga aktivitas tersebut dilakukan tanpa izin resmi, termasuk dokumen UKL-UPL, SPPL, maupun AMDAL. Jika benar, praktik ini berpotensi melanggar UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Pasal 158 UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang mengatur ancaman pidana penjara maksimal lima tahun dan denda hingga Rp100 miliar.
Selain sanksi pidana, pelaku juga dapat dikenai sanksi administratif hingga perampasan aset.
Hingga kini, belum ada kepastian apakah aktivitas dredging dan dumping tersebut bagian dari proyek perusahaan di kawasan Tanjung Uncang, dan apakah sudah mengantongi izin Pemanfaatan Kawasan Konservasi Perairan dan Lingkungan (PKKPRL). Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2025, izin dredging kurang dari 30 hari menjadi kewenangan BP Batam, sementara jika lebih dari 30 hari, kewenangan berada di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Desakan Investigasi
Vinto menegaskan bahwa kasus ini harus segera diselidiki oleh aparat penegak hukum. “Meski aktivitasnya sudah berhenti, polisi, KKP, dan PSDKP Batam tidak boleh tinggal diam. Harus ada investigasi menyeluruh agar jelas siapa pelakunya, dan negara wajib menghitung kerusakan lingkungan yang terjadi,” tandasnya.
Masyarakat pesisir juga berharap aparat bertindak cepat untuk mencegah praktik serupa terjadi kembali di perairan Batam.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak perusahaan yang diduga terkait aktivitas tersebut belum memberikan klarifikasi resmi, sementara media masih berupaya menghubungi BP Batam dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.