Serdang Bedagai, fakta62.info -
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan dua desa yang saling bergantung, sebuah ancaman besar terus mengintai tanpa kepastian: Jembatan Nagur yang menghubungkan Desa Pekan Tanjung Beringin dan Desa Nagur kini nyaris tak layak disebut jembatan. Besi pembatas yang telah hancur tergantikan oleh bambu seadanya, dan permukaan aspal berubah menjadi jebakan maut bagi setiap pengendara yang melintas.
Setiap hari, warga mempertaruhkan nyawa melintasi jembatan yang nyaris runtuh ini. Anak-anak pergi ke sekolah dengan degup jantung yang tak menentu. Petani dan pedagang mengangkut hasil bumi dengan penuh kekhawatiran. Tak ada pilihan lain, karena jembatan inilah satu-satunya akses utama mereka.
“Kami tidak butuh janji. Kami butuh perbaikan. Kami takut, sangat takut, suatu hari jembatan ini akan memakan korban,” ujar Haris, warga Pematang Kuala dengan suara bergetar. Ia melintasi jembatan itu setiap hari dan menyaksikan sendiri bagaimana kerusakan kian parah dari waktu ke waktu.
Kerusakan pada Jembatan Nagur bukan sekadar persoalan infrastruktur — ini adalah soal nyawa, tentang masa depan anak-anak, dan tentang keberlangsungan ekonomi dua desa. Saat hujan turun, lubang-lubang menganga di permukaan aspal berubah menjadi perangkap mematikan, tak terlihat dan licin. Sudah banyak pengendara terpeleset, dan warga kini hanya bisa pasrah setiap kali melintasinya.
Meski berbagai usulan telah diajukan ke wakil rakyat, dan suara warga telah berkali-kali menggema dalam setiap masa reses DPRD, respons pemerintah masih sebatas angin lalu. Belum ada satu pun tindakan nyata yang memberikan secercah harapan bagi warga.
Kini, masyarakat dua desa hanya bisa berharap Pemerintah Provinsi Sumatera Utara segera membuka mata dan hati. Jembatan Nagur bukan sekadar struktur beton dan besi — ia adalah nadi kehidupan ribuan jiwa. Jangan tunggu nyawa melayang baru bertindak. Jangan biarkan harapan warga runtuh bersamaan dengan robohnya jembatan ini.
(Rudi Nst)