Batam, fakta62.Info-
Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Projo Kepulauan Riau menyampaikan apresiasi terhadap Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) atas penyegelan Pulau Kapal Besar dan Pulau Kapal Kecil di wilayah perairan Batam, Sabtu (20/7/2025).
Langkah tersebut dilakukan setelah ditemukan indikasi kuat aktivitas reklamasi tanpa kelengkapan perizinan resmi. Penyegelan dilaksanakan langsung oleh Dirjen PSDKP KKP, Pung Nugroho Saksono, sebagai bentuk penegakan hukum di wilayah pesisir dan laut.
Sekretaris DPD Projo Kepri, Dado Herdiansyah, menyambut positif tindakan tersebut dan menilai langkah tegas dari pemerintah menunjukkan kehadiran negara dalam menjaga ruang laut dari pelanggaran tata kelola. “Ini bukti nyata bahwa negara tidak diam. Penegakan hukum seperti ini harus menjadi standar dalam menjaga kelestarian pesisir,” kata Dado di Batam, Minggu (21/7/2025).
Ia menegaskan, aktivitas reklamasi yang dilakukan tanpa dokumen perizinan tetap harus diproses secara hukum, meskipun pelaku berupaya melengkapi izin di kemudian hari. “Prinsip hukum harus ditegakkan. Tidak boleh ada toleransi atau impunitas terhadap pelanggaran yang telah terjadi,” ujarnya.
Investigasi Sejak Awal Juli
Sejak awal Juli 2025, DPD Projo Kepri telah melakukan investigasi ke sejumlah titik yang diduga menjadi lokasi reklamasi tanpa izin, termasuk Pulau Pial Layang, Pulau Kapal Besar, dan Pulau Kapal Kecil. Hasil investigasi telah dilaporkan kepada Tim Panitia Kerja (Panja) Komisi VI DPR RI saat melakukan kunjungan kerja ke Batam, 18 Juli lalu.
Terkait Pulau Pial Layang yang hingga kini belum disegel, Dado berharap penyelidikan yang dilakukan PSDKP berjalan secara transparan dan akuntabel. Ia juga mendorong adanya tindakan tegas apabila ditemukan pelanggaran serupa. “Pulau Pial Layang termasuk dalam laporan kami. Jika ada pelanggaran hukum, tentu kami harap langkah hukum diambil secara setara,” katanya.
Dirjen PSDKP: Ada Pelanggaran
Dirjen PSDKP, Pung Nugroho Saksono, dalam keterangannya menjelaskan, penyegelan dilakukan karena adanya indikasi kuat reklamasi tanpa izin. “Kami telah memasang plang penyegelan dan menghentikan aktivitas reklamasi di kedua pulau tersebut,” kata Pung. Menurutnya, tindakan ini merupakan bentuk ketegasan pemerintah dalam melindungi ruang laut dari kerusakan dan kegiatan ilegal.
Langkah penyegelan ini mendapat dukungan dari DPR RI. Ketua Tim Panja Komisi VI, Andre Rosiade, mengatakan bahwa laporan dari Projo Kepri telah menjadi perhatian serius DPR. “Kami langsung menindaklanjuti dalam pertemuan dengan BP Batam. Ini akan menjadi atensi kami dalam pembenahan tata kelola investasi di kawasan pesisir,” ujar Andre dalam rapat terbuka.
Perusahaan Akui Masih Proses Izin
Pihak perusahaan pengelola Pulau Kapal Besar dan Kecil, PT Dewi Citra Kencana, melalui kuasa hukum Gatot Rio Putro, menyatakan tengah menyelesaikan proses perizinan, termasuk dokumen PKKPRL dan AMDAL. “Kami menghormati proses penyegelan ini. Namun, kami juga sedang berupaya melengkapi dokumen yang dibutuhkan,” ujarnya.
Sementara itu, perusahaan pengelola Pulau Pial Layang, PT Tri Tunas Sinar Benua, yang berada dalam satu grup dengan PT Dewi Citra Kencana, mengklaim belum melakukan reklamasi skala besar. Mereka menyebut aktivitas yang dilakukan masih sebatas studi dan perencanaan investasi pariwisata bahari.
Ajak Masyarakat Kawal
DPD Projo Kepri menegaskan bahwa seluruh aktivitas pemanfaatan ruang laut harus menjunjung tinggi asas hukum dan tidak boleh mengorbankan lingkungan maupun masyarakat pesisir. “Kami tidak ingin ada ruang abu-abu dalam urusan hukum. Kalau tidak ada izin, maka harus dihentikan,” tegas Dado.
Ia juga mengajak masyarakat sipil dan kelompok pemerhati lingkungan untuk terus mengawasi praktik-praktik reklamasi dan penguasaan ruang laut yang tidak sesuai ketentuan. “Kami akan terus mengawal dan mendorong agar praktik serupa tidak kembali terjadi,” katanya.
Langkah cepat PSDKP dan respons DPR RI dinilai sebagai momentum penting untuk memperkuat tata kelola ruang laut di Kepulauan Riau, khususnya Batam, yang selama ini kerap menghadapi persoalan tumpang tindih perizinan dan lemahnya pengawasan di lapangan.