Batam, fakta62. Info – Sidang kasus yang menjerat Gordon Hassler Silalahi kembali digelar di Pengadilan Negeri Batam. Kuasa hukum Gordon dengan tegas membantah seluruh tuduhan jaksa penuntut umum, menyatakan bahwa kliennya sama sekali tidak bersalah atas dugaan keterlambatan proyek. Menurut mereka, akar masalah justru berasal dari tarik-menarik administrasi antara Badan Pengusahaan (BP) Batam dan pihak PT Moya, bukan dari Gordon.
“Kesalahan Gordon di mana? Gordon hanya mengurus RAB dan faktur sesuai tugasnya. Keterlambatan bukan karena Gordon, tapi akibat masalah administrasi di BP Batam dan Moya,” tegas Nixon Siahaan, kuasa hukum Gordon.
Gordon sendiri hanyalah seorang konsultan yang mengurus Rencana Anggaran Biaya (RAB) dan faktur proyek, bukan pengelola proyek. Pihak kuasa hukum menegaskan bahwa seluruh kewajiban Gordon sudah dijalankan sesuai prosedur, bahkan disertai bukti kronologi yang telah distempel notaris sebagai penguat pembelaan.
Nixon menilai dakwaan jaksa tidak utuh, tidak sesuai fakta, bahkan cenderung dipaksakan. Menurutnya, perkara ini murni ranah perdata namun dipelintir menjadi kasus pidana. Ia juga berencana melaporkan dugaan ketidakprofesionalan penanganan perkara ini ke Komisi Kejaksaan dan Jaksa Agung Muda.
Di ruang sidang, Gordon tampak murung. Dengan suara pelan, ia mengaku bingung dengan dakwaan yang ditimpakan kepadanya.
“Sampai sekarang saya belum paham pasal apa yang didakwa kepada saya. Saya hanya mengurus dokumen sesuai permintaan, tapi kenapa saya yang diseret ke pengadilan?” ujarnya di hadapan majelis hakim.
Awal Kasus
Kasus ini berawal dari kerja sama dengan seorang bernama Ikhwan. Gordon menegaskan tidak pernah menawarkan proyek apa pun, justru Ikhwan yang meminta bantuannya mengurus pemasangan jaringan air di kawasan industri PT Nusa Cipta Propertindo.
“Saya bukan biro jasa. Uang Rp20 juta yang saya terima adalah jasa pengurusan yang sudah saya kerjakan selama enam bulan penuh,” jelas Gordon.
Sejak September 2022, Gordon aktif menindaklanjuti proses tersebut, termasuk mempertemukan Ikhwan dengan pejabat SPAM BP Batam. Dari upayanya, faktur resmi senilai Rp335 juta dari PT Moya/BP Batam akhirnya terbit. Namun, dari komitmen awal Rp30 juta, Gordon hanya menerima Rp20 juta. Ironisnya, belakangan justru uang jasa itu dipersoalkan. Ikhwan meminta pengembalian dana dengan alasan pemasangan belum terealisasi. Karena ditolak Gordon, laporan polisi pun dilayangkan hingga ia kini duduk sebagai terdakwa.
Indikasi Kriminalisasi
Kuasa hukum Gordon menilai ini murni bentuk kriminalisasi. Nixon mengingatkan bahwa penyelidikan di Polsek Batu Ampar sebelumnya sudah menyimpulkan tidak ada unsur pasal 372 maupun 378 KUHP.
“Ini jelas masalah jasa pekerjaan. Gordon sudah tujuh bulan bekerja sampai faktur resmi keluar. Masa jasa Rp20 juta dianggap pidana? Itu murni ongkos kerja,” tegas Nixon.
Ia menambahkan, jika pun ada yang merasa dirugikan, seharusnya menempuh jalur gugatan perdata, bukan pidana.
“Ini indikasi kriminalisasi, memaksa perkara perdata jadi pidana,” tambahnya.
Kini, Gordon harus menghadapi proses hukum yang sejak awal tidak pernah ia pahami. Dari seorang konsultan yang hanya membantu mengurus dokumen, ia justru dijadikan terdakwa dengan tuduhan yang dinilai sarat rekayasa.