Dalam pernyataannya pada Jumat (20/6/2025), Lantu menegaskan bahwa tindakan tersebut merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya pasal-pasal yang menjamin kemerdekaan dan kebebasan pers di Indonesia.
“Langkah-langkah semacam itu jelas mencederai prinsip dasar kemerdekaan pers. Tidak ada pihak yang berhak membatasi akses wartawan tanpa dasar hukum yang sah. Ini bentuk intervensi yang dapat mengarah pada pembungkaman media,” tegas Lantu.
Ia menambahkan bahwa keberadaan jurnalis di desa-desa sangat penting untuk menjaga fungsi kontrol sosial serta memastikan masyarakat mendapatkan informasi yang akurat dan berimbang. Menurutnya, setiap upaya pembatasan terhadap wartawan justru menciptakan ruang gelap dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.
SPRI Minsel saat ini sedang melakukan pengumpulan bukti dan keterangan terkait dugaan tersebut. Lantu menyatakan bahwa pihaknya siap melaporkan ke institusi penegak hukum apabila ditemukan adanya unsur pidana dalam tindakan pembatasan tersebut.
Sebagai organisasi yang menaungi para jurnalis di daerah, SPRI Minsel mengimbau seluruh wartawan di wilayah Minahasa Selatan untuk tetap menjalankan tugas secara profesional, tidak terprovokasi, dan tidak terintimidasi oleh upaya-upaya yang mengarah pada pelanggaran terhadap kebebasan pers.
“Kami mendukung penuh kebebasan pers yang bertanggung jawab. Pers bukan musuh pemerintah desa, tapi mitra dalam pembangunan yang transparan dan akuntabel,” pungkas Lantu.
Kasus ini mendapat sorotan luas dari komunitas jurnalis dan pemerhati kebebasan pers di Sulawesi Utara, dan menjadi momentum untuk kembali menegaskan pentingnya perlindungan terhadap kerja jurnalistik di semua lini pemerintahan, termasuk di tingkat desa.