Batam, fakta62.info-
Pagi itu, pasar tradisional di jantung Kota Karimun ramai seperti biasa. Pedagang memanggil-manggil pembeli, aroma rempah dan sayur mayur bercampur di udara. Namun di sudut salah satu lapak beras, seorang ibu paruh baya berdiri terpaku. Tangannya menggenggam uang lusuh, matanya memandangi timbangan dengan pandangan kosong. Air matanya mengalir, pelan, namun sarat makna.
"Biasanya, uang segini cukup buat seminggu. Sekarang, cuma dapat beras sama minyak sebotol kecil," ujarnya lirih, suaranya nyaris hilang tertelan hiruk pikuk pasar. Ia adalah potret dari ribuan warga Karimun yang terhimpit oleh lonjakan harga kebutuhan pokok.
Beras, minyak goreng, gula pasir — semuanya melambung. Pedagang sendiri mengaku kesulitan mendapatkan pasokan. Di balik kelangkaan ini, desas-desus soal permainan harga dan penimbunan barang mencuat. Diduga, ada jaringan mafia sembako yang mengendalikan aliran distribusi dari pelabuhan hingga pasar, memanfaatkan situasi untuk mengeruk keuntungan.
Tak hanya soal harga, pasokan juga kerap dibuat “tersendat”. Ada kabar bahwa kran distribusi dari Batam sengaja ditutup, lalu dibuka kembali setelah harga naik. Ironisnya, beras yang masuk dari Batam disebut-sebut lolos tanpa pajak, menambah dugaan permainan kotor di balik layar.
Situasi ini membuat warga terjepit. Bagi mereka yang hidup pas-pasan, kenaikan harga ini bukan sekadar angka di papan pasar — ini adalah ancaman terhadap dapur yang kosong, piring yang tak lagi penuh, dan masa depan anak-anak yang terancam gizi buruk.