Jenis tulisan : Opini
Oleh: Wim Badri Zaki (Pegiat hukum dan pemerhati sosial
Jakartaa, Fakta62.info-
Dalam sejarah pemikiran politik, negara selalu hadir sebagai entitas paradoksal. Ia dibentuk untuk melindungi manusia dari kekacauan, tetapi pada saat yang sama menyimpan potensi menjadi sumber penindasan. Thomas Hobbes menyebut negara sebagai Leviathan, makhluk raksasa yang lahir dari kontrak sosial demi menjamin ketertiban. Namun sejak awal, para pemikir politik telah mengingatkan bahwa Leviathan yang terlalu kuat, tanpa pembatasan yang efektif, akan berubah dari pelindung menjadi penguasa absolut.
Pertanyaan tentang batas kekuasaan negara menjadi semakin relevan ketika kekuasaan politik terkonsentrasi secara masif. Dalam konteks Indonesia hari ini, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memperlihatkan gejala konsolidasi kekuasaan yang jarang terjadi dalam sejarah pascareformasi. Dominasi eksekutif yang kuat, dukungan legislatif yang nyaris tanpa oposisi signifikan, pengaruh aparat keamanan, serta peran negara yang semakin besar dalam sektor ekonomi strategis menempatkan negara pada posisi yang sangat dominan dalam kehidupan politik dan sosial.
Dalam situasi seperti ini, pertanyaan “siapa berani lawan Prabowo” kerap muncul di ruang publik. Namun pertanyaan tersebut sesungguhnya keliru jika dipahami sebagai persoalan personal atau keberanian politik individu. Dalam negara demokrasi, persoalan utamanya bukan siapa yang berani melawan seorang presiden, melainkan apakah kekuasaan itu masih dibatasi oleh prinsip- prinsip hukum, institusi, dan kesadaran publik. Pertanyaan ini bersifat filosofis dan konstitusional, bukan emosional atau elektoral.
Montesquieu, dalam karya monumentalnya De l’Esprit des Lois (The Spirit of Laws, 1748), memberikan fondasi paling penting bagi demokrasi modern melalui gagasan pemisahan kekuasaan. Bagi Montesquieu, kebebasan politik hanya mungkin terwujud jika kekuasaan tidak terkonsentrasi pada satu tangan. Kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif harus dipisahkan dan saling mengawasi. Prinsip ini bukan sekadar desain kelembagaan, melainkan jiwa dari hukumitu sendiri. Tanpa pembatasan, hukum akan kehilangan rohnya dan berubah menjadi alat legitimasi kekuasaan.
Montesquieu menulis bahwa untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, kekuasaan harus membatasi kekuasaan. Pernyataan ini menjadi peringatan abadi bahwa negara, betapapun sahnya secara konstitusional, tetap harus dicurigai ketika kekuasaannya tidak lagi diimbangi oleh mekanisme pengawasan yang efektif. Dalam konteks Indonesia, dominasi politik pemerintah di parlemen menimbulkan tantangan serius bagi prinsip ini. Fungsi legislasi dan pengawasan tetap berjalan secara formal, tetapi ketegangan politik yang sehat sebagai penyeimbang kekuasaan cenderung melemah.
Indonesia secara konstitusional menegaskan dirinya sebagai negara hukum, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Secara normatif, hal ini sejalan dengan pandangan Georg Wilhelm Friedrich Hegel yang melihat negara sebagai manifestasi rasional dari kehendak umum. Dalam Philosophy of Right (1820), Hegel menempatkan negara sebagai puncak perkembangan etika dan kebebasan objektif. Individu, menurut Hegel, justru mencapai kebebasan sejatinya melalui kepatuhan terhadap hukum dan institusi negara.
Pandangan Hegel membantu menjelaskan mengapa negara yang kuat sering dianggap sebagai solusi dalam situasi krisis dan ketidakpastian. Ketika dunia dihadapkan pada tekanan geopolitik, ekonomi global yang tidak stabil, dan ancaman disintegrasi sosial, negara yang tegas dan terpusat kerap dipersepsikan sebagai kebutuhan. Dalam kerangka ini, penguatan negara sering diterima sebagai sesuatu yang rasional dan bahkan diperlukan.
Namun, persoalan muncul ketika hukum tidak lagi berfungsi sebagai pembatas kekuasaan, melainkan sebagai alat untuk membenarkan dan melanggengkannya. Negara hukum kemudian berisiko berubah menjadi negara legalistik, di mana segala sesuatu sah secara prosedural, tetapi kehilangan substansi keadilan. Rasionalitas negara ala Hegel dapat dengan mudah bergeser menjadi rasionalisasi kekuasaan, ketika kritik terhadap negara diposisikan sebagai ancaman terhadap stabilitas.
Karl Marx menawarkan kritik yang lebih radikal terhadap pandangan tersebut. Dalam Critique of Hegel’s Philosophy of Right (1843), Marx menolak anggapan bahwa negara bersifat netral dan mewakili kepentingan umum. Baginya, negara adalah instrumen kelas penguasa yang berfungsi mempertahankan kepentingan politik dan ekonomi mereka. Hukum, kebijakan publik, dan institusi negara tidak pernah benar-benar berdiri di atas semua kepentingan, melainkan selalu terikat pada relasi kekuasaan yang konkret.
Kritik Marx menemukan relevansinya dalam realitas Indonesia kontemporer, di mana kekuasaan negara tidak hanya terpusat secara politik, tetapi juga terintegrasi dengan kepentingan ekonomi strategis. Negara hadir melalui jaringan birokrasi, aparat keamanan, serta entitas ekonomi besar seperti BUMN dan holding strategis yang menguasai sumber daya alam dan sektor-sektor vital. Ketika kekuasaan politik dan ekonomi bertemu dalam satu poros, negara berpotensi lebih responsif terhadap kepentingan elite dibandingkan kepentingan warga secara luas.
Dalam konteks ini, pengelolaan pendidikan tinggi dan posisi mahasiswa menjadi indikator penting kesehatan demokrasi. Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa mahasiswa kerap menjadi kekuatan kritis yang mampu menyeimbangkan kekuasaan negara. Reformasi 1998 bukan lahir dari parlemen yang kuat, melainkan dari tekanan publik dan intelektual. Oleh karena itu, kebijakan yang berdampak pada pendidikan tinggi tidak dapat dilepaskan dari persoalan demokrasi dan kebebasan berpikir.
Pendidikan tinggi bukan sekadar sektor administratif atau anggaran, melainkan ruang pembentukan kesadaran kritis. Ketika ruang ini melemah, kemampuan masyarakat untuk mengoreksi kekuasaan juga ikut melemah. Marx telah lama mengingatkan bahwa pendidikan dalam negara modern sering digunakan sebagai alat ideologis. Negara tidak selalu perlu menggunakan represi terbuka; cukup dengan mengatur kesadaran, kekuasaan dapat bertahan tanpa perlawanan berarti.
Pertanyaan tentang keberanian melawan kekuasaan, dalam konteks ini, seharusnya diarahkan pada institusi dan prinsip, bukan pada individu. Siapa yang berani memastikan parlemen tetap menjalankan fungsi pengawasan? Siapa yang berani menjaga hukum agar tetap menjadi pembatas kekuasaan, bukan sekadar legitimasi? Siapa yang berani mempertahankan kebebasan akademik dan ruang kritik publik? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang seharusnya diajukan dalam negara demokrasi.
Negara yang kuat tidak identik dengan negara otoriter. Namun sejarah menunjukkan bahwa negara yang kuat tanpa pembatasan hampir selalu berujung pada penyempitan kebebasan. Di sinilah relevansi pemikiran Montesquieu, Hegel, dan Marx bertemu. Montesquieu mengingatkan pentingnya pembatasan kekuasaan, Hegel menjelaskan daya tarik negara yang kuat, dan Marx membongkar kepentingan yang kerap bersembunyi di baliknya.
Demokrasi tidak runtuh dalam satu malam. Ia melemah perlahan, ketika kekuasaan tidak lagi merasa perlu diawasi dan masyarakat mulai terbiasa dengan konsentrasi kekuasaan. Dalam situasi seperti ini, filsafat politik bukanlah alat untuk menggugat negara, melainkan sarana untuk mengingatkan bahwa kekuasaan, betapapun sah dan populer, selalu membutuhkan batas.
Maka, Leviathan tidak harus dihancurkan, tetapi harus dikendalikan. Negara tetap diperlukan sebagai penjamin ketertiban dan keadilan, tetapi tidak boleh dibiarkan tumbuh tanpa pengawasan. Pertanyaan sejati bagi Indonesia hari ini bukanlah siapa berani melawan Prabowo, melainkan apakah prinsip pembatasan kekuasaan masih hidup dalam praktik bernegara kita. Jika prinsip itu tetap dijaga, demokrasi akan bertahan. Jika tidak, maka Leviathan akan terus membesar, berdiri kokoh atas nama hukum, tetapi semakin jauh dari semangat keadilan yang seharusnya dilindunginya.
(Rls)





