fakta62.info
TANGERANG SELATAN - Gunungan sampah setinggi hampir dua meter di bawah Flyover Ciputat bukan hanya persoalan bau busuk. Temuan lapangan yang dihimpun awak media membuka indikasi lebih serius: sistem pengelolaan sampah Kota Tangerang Selatan diduga kolaps, sementara prioritas anggaran pemerintah justru mengarah pada belanja-belanja non-esensial.
Pada 11 Desember 2025, awak media mendokumentasikan penumpukan sampah sepanjang ±10 meter di bawah flyover. Tumpukan itu berasal dari kiriman pedagang, pengguna jalan, serta sisa sampah basah yang telah membusuk. Lalat beterbangan, bau menyengat, dan warga terpaksa menutup hidung sebagai tanda bahwa situasi telah meningkat dari sekadar gangguan menjadi risiko kesehatan masyarakat.
Beberapa sumber mengonfirmasi bahwa penutupan sementara TPA Cipeucang memaksa armada sampah “menahan muatan” dan menurunkan sebagian di titik-titik tertentu.
“Info yang kami dapat, petugas ngak bisa buang penuh. Cipeucang tutup. Jadi numpuk di sini,” ujar salah seorang nara sumber ya minta identitasnya di rahasiakan
Namun investigasi redaksi menemukan persoalan ini tidak terjadi begitu saja, melainkan buah dari akumulasi ketidaksiapan kebijakan dan lemahnya prioritas anggaran.
Temuan 1: Ada Anggaran Sampah, Tapi Tidak Dibangun Sistem Darurat
Dokumen yang diperoleh dari laporan publik menyebutkan Pemkot Tangsel memiliki skema anggaran Rp50miliar untuk penaganan sampah. Anggaran tersebut seharusnya mengantisipasi gangguan ketika TPA lokal mengalami penutupan.
Namun fakta di lapangan justru menunjukkan tidak adanya rencana darurat (emergency waste route), tidak ada titik transit yang diawasi, dan tidak ada koordinasi antara DLH, dinas teknis, serta pengelola TPA.
Padahal PP 81/2012 secara tegas mewajibkan pemerintah menyiapkan rencana darurat persampahan.
Artinya: anggaran ada, sistem tidak jalan.
Temuan 2: Ironi Prioritas Belanja Rapat, Suvenir, dan Dinas Justru Membengkak
Krisis sampah yang terjadi berbarengan dengan memanasnya kritik publik terhadap struktur APBD Tangsel. Salah satu suara paling keras datang dari tokoh publik Leony Vitria Hartanti, yang menyoroti betapa besar porsi anggaran yang justru tidak bersentuhan langsung dengan pelayanan publik.
Dalam catatannya, pos-pos berikut dianggap janggal:
- Makan-minum rapat mencapai puluhan miliar rupiah,
- Belanja suvenir/cenderamata naik signifikan,
- Perjalanan dinas menyedot ratusan miliar,
Sementara layanan dasar seperti sanitasi, kontrol lalat, respon cepat sampah, dan kesiapsiagaan TPA justru minim penguatan.
Investigasi redaksi menemukan bahwa kritik Leony tidak berdiri sendiri. Beberapa dokumen perbandingan APBD 2024–2025 menunjukkan pola yang sama: belanja internal naik, belanja layanan publik stagnan.
Yang mengherankan, setelah kritik Leony viral dan dijawab oleh Walikota, tidak ada indikasi reposisi anggaran untuk memperbaiki sektor yang sekarang terbukti bermasalah, yakni pengelolaan sampah.
Dengan kondisi gunungan sampah di Ciputat, kritik ini kini berubah menjadi alarm kegagalan tata kelola.
Temuan 3: Regulasi Mengikat, Pemerintah Tidak Punya Ruang Alasan
Tumpukan sampah bukan sekadar masalah teknis. Berdasarkan undang-undang:
- UU 18/2008 - Pemda wajib mencegah pencemaran.
- PP 81/2012 - Pemda wajib punya rencana darurat ketika TPA terganggu.
- UU 23/2014 - Pengelolaan sampah menjadi urusan wajib pelayanan dasar.
Artinya: Ketiadaan rencana darurat, lambannya penanganan, dan munculnya TPS liar di fasilitas publik adalah pelanggaran administratif atas kewajiban layanan dasar.
Aktivis lingkungan, Bung Toni, mengatakan:
“Ini bukan lagi kelalaian. Ini sinyal ada yang gagal di hulu, baik dalam perencanaan maupun penganggaran.” tegasnya
Temuan 4: Dampak Kesehatan Mulai Terasa
Warga sekitar memberikan penjelasan kepada awak media terkait meningkatnya lalat, gangguan pernapasan ringan, dan aroma busuk yang menembus rumah.
Seorang warga, Mulyadi, mengatakan: “Kami bukan minta banyak. Pemerintah punya anggaran, punya kewenangan. Tapi kenapa lingkungan kami yang jadi korban?” ujarnya
Pedagang setempat mengutarakan kecemasanya, mereka khawatir omzet mereka terus menurun karena pembeli enggan mendekat.
Analisis Redaksi: Ada Pola Repetitif Mismanajemen
Hasil penelusuran terhadap kasus-kasus sebelumnya menunjukkan bahwa persoalan sampah bukan kejadian tunggal. Setiap kali TPA Cipeucang ditutup atau terganggu, krisis kecil selalu muncul, tetapi tidak pernah ditangani dengan:
- skema darurat permanen,
- lokasi transit resmi,
- teknologi pengurangan sampah,
- atau penguatan anggaran operasional harian.
Dengan APBD yang mencapai angka triliunan, pertanyaan publik semakin tajam:
- Mengapa layanan dasar paling mendasar, kebersihan dan sanitasi tidak disiapkan dengan baik?
- Kemana sebenarnya prioritas pemerintah kota diarahkan?
- Mengapa belanja internal jauh lebih dominan, sementara persoalan fundamental dibiarkan menumpuk?
Krisis sampah di Ciputat adalah Cermin Ketelanjuran Arah Anggaran
Gunungan sampah di bawah Flyover Ciputat bukan hanya tumpukan sampah, tetapi tumpukan masalah struktural:
- perencanaan darurat tidak ada,
- ksekusi anggaran tidak efektif,
- prioritas APBD lebih condong ke kenyamanan birokrasi,
sementara kesehatan dan keselamatan warga justru diletakkan paling belakang.
Kasus ini menjadi ujian serius bagi Pemkot Tangsel: Apakah pemerintah akan memperbaiki prioritas anggaran dan tata kelola, atau sekadar menunggu krisis berikutnya?
Tim Redaksi akan terus melakukan penelusuran dan menagih akuntabilitas pemerintah atas krisis ini.






