Kasus dugaan kekerasan yang menimpa dua wartawan di Dairi menjadi sorotan publik dan menimbulkan keprihatinan mendalam terkait kondisi kebebasan pers di daerah tersebut. Insiden yang melibatkan Kepala Desa Pegagan Julu VI, Edward Sorianto Sihombing, ini menjadi ujian bagi komitmen pemerintah daerah dan aparat penegak hukum dalam melindungi hak-hak wartawan.
Bangun MT dan Abednego P.I Manalu, dua wartawan yang menjadi korban, berharap agar kasus ini dapat diusut tuntas dan pelaku dapat dihukum seadil-adilnya. Mereka juga berharap agar kejadian serupa tidak terulang kembali di kemudian hari.
"Kami hanya ingin menjalankan tugas jurnalistik dengan aman dan nyaman. Kami berharap agar pemerintah dan aparat penegak hukum dapat memberikan perlindungan yang memadai bagi para wartawan," ujar Bangun MT.
Masyarakat Dairi juga berharap agar insiden ini dapat menjadi momentum untuk memperbaiki kualitas demokrasi dan kebebasan pers di daerah mereka. Mereka berharap agar para pejabat publik dapat lebih menghargai peran media sebagai kontrol sosial dan mitra dalam pembangunan.
"Kami ingin agar para pejabat publik dapat lebih terbuka dan transparan dalam menjalankan pemerintahan. Media adalah jembatan antara pemerintah dan masyarakat," kata seorang warga Dairi.
Kasus ini juga menjadi pengingat bagi semua pihak tentang pentingnya menghormati hukum dan menjunjung tinggi etika dalam menjalankan tugas dan profesi masing-masing. Kekerasan dan intimidasi tidak dapat dibenarkan dalam negara hukum yang demokratis. Tindakan menghalang-halangi wartawan dalam menjalankan tugasnya jelas melanggar Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, khususnya Pasal 4 ayat (1) yang menjamin kemerdekaan pers, serta Pasal 18 yang mengatur sanksi pidana bagi siapa saja yang menghalang-halangi tugas jurnalistik. Dengan adanya landasan hukum yang jelas, diharapkan kasus ini dapat diproses secara adil dan transparan.
(Novika)